Perbedaan Gender dalam Asertivitas di Indonesia masih menjadi isu yang relevan hingga saat ini. Asertivitas sendiri dibutuhkan untuk menyampaikan pendapat kita dengan tegas namun tetap sopan dan menghargai pendapat orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam berasertivitas, terlebih lagi jika kita mempertimbangkan faktor gender.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Wahyu Nuryanto, dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia, menyatakan bahwa pemahaman mengenai asertivitas pada pria dan wanita bisa sangat berbeda. “Pada umumnya, pria lebih lugas dan tegas dalam berasertivitas, sedangkan wanita memiliki kecenderungan untuk lebih halus dan bergantung pada faktor emosional,” ujarnya.
Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa satu tindakan lebih baik daripada yang lainnya. Dalam konteks budaya Indonesia, dimana masih terjadi stereotip gender yang kuat, seorang wanita yang terlalu berasertivitas dapat dianggap sebagai wanita yang kasar dan tidak sopan. Sementara pria yang tidak cukup asertif dapat dianggap sebagai lemah dan tidak berwibawa.
Namun, tidak selalu demikian. Seorang wanita yang berasertivitas dan tegas pun dapat tetap meraih kesuksesan di berbagai bidang. Demikian pula dengan pria yang lebih lembut dan sensitif, hal ini tidak akan mengurangi kredibilitas dan integritas mereka.
Tidak ada yang salah dengan perbedaan gender dalam asertivitas, selama hal tersebut tidak menimbulkan diskriminasi dan merugikan pihak lain. Kita perlu memahami bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya dengan cara yang sesuai dengan kepribadian dan preferensinya masing-masing.
Sebagai individu, kita perlu memperkuat kemampuan kita untuk berasertivitas tanpa melupakan nilai-nilai positif yang ada dalam budaya Indonesia. Sebagai masyarakat, kita perlu terus mendorong kesetaraan gender dan menghargai perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Dalam bahasan ini, perlu disebutkan juga mengenai agama sebagai faktor yang mempengaruhi asertivitas seseorang. Dr. Ahmad Najib Burhani, dosen Departemen Psikologi UIN Jakarta, menyatakan bahwa konsep asertivitas dalam Islam meliputi keberanian dalam menyampaikan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. “Islam mengajarkan untuk berbicara dengan lembut namun tegas, sehingga tidak merugikan pihak lain,” ujarnya.
Dalam hal ini, kita dapat mengambil inspirasi dari nilai-nilai positif agama untuk memperkuat kemampuan asertif kita tanpa melupakan sensitivitas serta menghargai perbedaan gender dan budaya yang ada di Indonesia.
Dalam rangka memperkuat kemampuan asertif, banyak sumber yang menyediakan latihan dan tips. Seperti yang diutarakan oleh psikolog Malti Bhojwani dalam bukunya, “Don’t Think of a Blue Ball”: “Hal pertama yang harus dipelajari adalah mengenali hak-hak kita, kemudian belajar menyampaikan pendapat kita dengan tegas, namun tetap dalam batas-batas respek,” katanya.
Dengan meningkatkan kemampuan asertif, kita akan lebih percaya diri dan dapat memperoleh kesuksesan baik di lingkungan personal maupun profesional. Perbedaan gender dalam asertivitas mungkin akan selalu ada, namun yang penting adalah tetap menghargai perbedaan tersebut dan memperkuat kemampuan asertif kita tanpa merugikan pihak lain.